Google AdSense
Home » » Jurnalisme Advokasi: Pengertian, Objektivitas, dan Subjektivitas

Jurnalisme Advokasi: Pengertian, Objektivitas, dan Subjektivitas

contoh iklan

Jurnalisme Advokasi: Pengertian, Objektivitas, dan Subjektivitas
Berdasarkan catatan Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch dalam The Handbook of Journalism Studies, tradisi jurnalisme advokasi di Eropa dan Amerika berkembang pada tahun 1800-an dan 1920-an.

Eropa nampaknya menjadi benua yang lebih ramah bagi pertumbuhan jurnalisme advokasi. Di benua ini, jurnalisme bisa menunjukkan diri sebagai kekuatan yang memiliki sikap untuk membela atau menentang sesuatu.

Bukan hanya kepentingan publik, jurnalisme advokasi di Eropa juga hadir untuk membela kepentingan politik dan bisnis pihak-pihak tertentu.

Kondisi yang relatif berbeda muncul di Amerika. Di benua ini, jurnalisme muncul layaknya “priyayi”. Dia mengklaim diri obyektif, sehingga bersih dari kepentingan apapun. Tradisi normatif ini lama-lama mengikis perkembangan jurnalisme advokasi di Amerika pada masa itu.

Jurnalisme advokasi memang seperti pelangi. Ia memiliki banyak warna, tergantung dengan sesuatu yang ia bela. Ada kalanya warna jurnalisme advokasi tidak terlalu mencolok karena sedang membela rakyat jelata.

Namun, tidak jarang juga jurnalisme advokasi sangat menyilaukan karena berada di awang-awang, terutama ketika sedang membela kepentingan politik dan bisnis kaum elit.

Ketiak obyektivitas

Untuk membatasi pengertian jurnalisme advokasi, saya sengaja membatasi diri pada definisi yang diungkapkan oleh beberapa praktisi dan akademisi.

Dan Gillmor, misalnya. Wartawan sekaligus pengajar di Arizona State University itu secara gamblang menyebut jurnalisme advokasi sebagai pemikiran dan kegiatan jurnalistik yang memiliki sudut pandang (angle) pemberitaan yang jelas.




Menurut Gillmor, jurnalisme advokasi tidak akan bermain di wilayah abu-abu, dia akan selalu lugas dan tegas dalam membela atau menolak sesuatu.

Morris Janowitz, seperti dikutip di dalam The Handbook of Journalism Studies, memberikan batasan yang sangat menarik.

Menurut Janowitz, jurnalisme advokasi lebih banyak berperan dalam menyuarakan dan mewakili kelompok tertentu yang tidak tergabung di dalam lingkaran kekuasaan. Kelompok seperti ini biasanya luput dari pemberitaan, relatif tidak mendapat tempat di media, dan termasuk kelompok marjinal.

Pada tahap ini, istilah Civic Advocacy Journalism mulai muncul. Tujuannya jelas, membela kaum lemah, mengungkapkan kebenaran, dan memicu perubahan sosial.

Orang sering mencibir jurnalisme advokasi. Mereka menganggap jurnalisme advokasi bukan anggota keluarga besar jurnalisme.

Salah satu alasan yang sering digunakan adalah jurnalisme advokasi cenderung subyektif, sehingga dengan sendirinya tidak akan pernah obyektif. Begitu kira-kira tudingan kepada jurnalisme advokasi.

Di sini, saya akan mencoba menggugat kedua alasan tersebut.

Pertama, subyektivitas jurnalisme. Apakah jurnalisme menjadi ternoda karena dia subyektif? Menurut saya tidak.

Begini argumentasinya. Jurnalisme mendalam (indepth atau longform) pasti (dan seharusnya) dilakukan setelah wartawan melakukan penelitian awal yang juga mendalam.

Setelah meneliti berbagai fakta dan data, sangat mungkin sebuah pers (advokasi) menemukan fakta ketidakadilan yang dialami seseorang atau sekelompok orang.

Pada titik inilah, wartawan yang dibekali dengan hati nurani oleh Tuhan memutuskan untuk membela. Keputusan ini dibuat secara sadar dan subyektif. Sekali lagi, subyektif.

Kedua, obyektivitas jurnalisme. Beberapa orang sering terjebak ketika mencoba menerjemahkan obyektivitas di dalam jurnalisme.

Menurut saya, hal ini terjadi karena beberapa orang itu hanya menganggap obyektivitas sebagai lawan kata dari subyektivitas. Sehingga, ketika sesuatu dianggap subyektif, maka ia akan sekaligus dituduh tidak obyektif.

Padahal, di dalam jurnalistik, obyektivitas memiliki indikator yang sangat banyak.

Seorang ahli sejarah bernama Westerstahl adalah yang pertama kali mencoba mengurai definisi obyektivitas. Konsep yang dia kembangkan masih digunakan sampai sekarang, termasuk di ranah media dan jurnalisme.

Ahli kajian media, Denis Mcquail mengembangkan definisi obyektivitas itu dalam beberapa buku, antara lain Media Performance (2002) dan Mass Communication Theory – 6th edition (2010).

Selain imparsialitas, menurut McQuail, ciri lain obyektivitas adalah faktualitas. Sebuah karya jurnalistik harus faktual. Selanjutnya, faktualitas memiliki tiga ciri, yaitu kebenaran, relevan, dan informatif.

McQuail kemudian memecah konsep yang dikembangkan oleh Westerstahl itu menjadi sejumlah indokator yang lebih sempit.

Berdasarkan uraian tersebut, sebuah karya jurnalistik advokasi sangat mungkin didasari oleh nurani yang menuntun wartawan untuk membela sesuatu secara subyektif. Namun, karya jurnalistik (yang subyektif) itu akan diproduksi berdasarkan faktualitas, berlandaskan fakta, mengedepankan kebenaran, relevansi, dan unsur informasi.

Dengan kata lain, jurnalisme advokasi bukanlah propaganda. Dia adalah karya jurnalistik yang faktual.

Dengan demikian, masih layakkah mengusir, atau bahkan mengubur hidup-hidup, jurnalisme advokasi ketika ia masih memegang teguh prinsip-prinsip faktualitas dan obyektivitas? Saya rasa tidak. Sebaliknya, kubur jurnalisme advokasi itu perlu dibongkar sehingga ia bisa bernapas lebih lega.

Kejujuran jurnalisme advokasi akan menjadi penyeimbang. Ia akan menjadi antitesis kerajaan media yang sering kali berlindung di balik ketiak obyektivitas, namun pada kenyataanya gencar menggunakan frekuensi publik atau ruang publik untuk kepentingan politik dan bisnis si pemilik atau koleganya yang sedang berkuasa. (KOMPAS).*

contoh iklan

0 comments:

Post a Comment